jump to navigation

Menjadi SEBAB atau AKIBAT Februari 28, 2012

Posted by Sonny Gunawan in NLP.
trackback

Setiap kita mempunyai 2(dua) PILIHAN dalam menjalani kehidupan ini, PILIHAN untuk menjadi SEBAB atau AKIBAT. Bila kita memilih untuk menjadi SEBAB, artinya: kita berperan sangat penting dalam menentukan terciptanya apa yang kita inginkan dalam hidup ini, kita berperan sangat penting dalam mewujudkan OUTCOME kita bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi, baik ataupun buruk. Kita hanya melihat bahwa dunia adalah tempat yang berisikan kesempatan-kesempatan untuk mewujudkan OUTCOME kita, apabila kita belum mendapatkan apa yang kita lakukan, cari cara dan kesempatan lain untuk dapat semakin mendekatkan diri kita kepada OUTCOME yang kita inginkan.

Sebaliknya apabila kita memilih diri kita untuk menjadi AKIBAT, kita cenderung menyalahkan orang lain untuk mood kita yang buruk, perasaan malas, marah, jengkel dan kesal serta tidak tercapainya OUTCOME kita. Sehingga hal ini menyebabkan keberhasilan, kesuksesan, dan pencapaian OUTCOME kita bergantung kepada hal-hal diluar kita, factor eksternal. “Coba seandainya, pacar saya, pasangan saya, orangtua saya, guru saya, bos saya, rekan kerja saya, anak buah saya memahami dan mendukung saya, saya pasti dapat mencapai apa yang menjadi OUTCOME saya!”. Jadi apa artinya, artinya kesuksesan dan keberhasilan pencapaian OUTCOME kita tergantung faktor eksternal, faktor diluar diri kita, pencapaian OUTCOME kita dikendalikan oleh orang lain, apakah kita mau?, apakah enak? Kita menyerahkan diri kita untuk dikendalikan orang lain? Anda menunggu orang lain melakukan sesuatu untuk Anda, tentu sangat membosankan dan tidak menyenangkan. Ini membuat seolah-olah orang lain mempunyai kuasa atas diri Anda, “Ia membuat saya sakit hati?” “Apa yang membuat Anda memilih untuk sakit hati?” Apakah hal itu bermanfaat buat Anda?”

Ambil kendali hidup Anda, dengan hidup Anda, Anda bisa mencapai apa yang Anda inginkan.

Apa yang perlu kita lakukan agar kita mampu mengambil kembali kendali hidup kita sendiri?:

A. Akui dan maafkan masa lalu Anda, Anda memang tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi, Anda juga tidak dapat mengubah masa lalu Anda, tetapi Anda dapat memberikan makna berbeda terhadap apa yang telah terjadi, pembelajaran apa yang telah Anda petik dari pengalaman tersebut. Ada pepatah yang mengatakan: “Kalau nasi sudah menjadi bubur kenapa kita tidak menjadikannya bubur ayam yang lezat?”.

Ada sebuah pengalaman pribadi “konyol” yang ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca sekalian, pengalaman ini terjadi ketika pertama kali saya harus ke kota besar Jakarta untuk kuliah, saat pertama berangkat untuk kuliah saya memiliki sebuah keyakinan yang sangat besar dapat melewati kuliah dan pasti berkesempatan mendapatkan beasiswa dengan mudah, saat sekolah di daerah asal saya selalu dapat ranking dan masuk dalam kategori 5  besar, sedangkan di kampus tempat saya kuliah terdapat aturan main akan diberikan beasiswa untuk semester selanjutnya bagi para mahasiswa yang memiliki Indek Prestasi minimal 3,5. Ternyata keyakinan yang besar tersebut membuat saya lengah, dan tidak disiplin dalam kuliah alias ogah-ogahan masuk kelas selalu telat, tugas-tugas dan latihan selalu nyontek sehingga hasil yang saya dapatkan sangat jauh dari harapan, ketika menerima hasil tidak sesuai dengan yang saya harapkan saya lebih senang menyalahkan faktor-faktor diluar diri saya: “Ya maklum saja, saya hanya lulusan dari kota kecil tentu kualitas pendidikan kalah dibandingkan teman-teman yang banyak mendapat fasilitas”, “Habis dosennya parah, nga bisa ngajar, cuma pintar buat dirinya sendiri”, “Dosennya tidak bisa menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif”, “Tempat saya kost berisik, tidak mendukung buat belajar”, “Teman-teman yang lain bisa main, bercanda, dan santai kenapa saya nga bisa?”, “Saya tidak punya fasilitas komputer untuk berlatih” serta banyak alasan-alasan lain yang saya cari-cari untuk membenarkan diri saya, sehingga alasan-alasan tersebut tidak memberdayakan saya dan membuat saya semakin jauh dari OUTCOME yang saya inginkan.

Sampai suatu saat saya sadar bahwa semua alasan tersebut tidak bermanfaat, saya harus menerima dan mengakui “kekalahan” saya. “Saya harus membuktikan, walaupun berasal dari kota kecil saya memiliki mental yang lebih gigih dari mereka yang mendapatkan kemudahan”, “Dosen sepandai mereka seharusnya bisa lebih maksimal dalam mengajar, saya harus mampu mengikuti mata kuliahnya dan mengajarkan kepada teman-teman dengan cara menyenangkan”, “Ibarat sebuah permainan, lebih baik saya “membayar” terlebih dulu, baru menikmati “permainannya” dari pada main, bercanda, dan santai sehingga harus SKS (Sistem Kebut Semalam) menjelang ujian, “Teman-teman yang sibuk bekerja, pasti suka apabila komputernya saya “rawat” (padahal saya gunakan buat berlatih) dengan menginstall aplikasi-aplikasi canggih dan anti virus terkini (licik ya …, tapi sebenarnya ini win-win-win kog)”. Saya harus berdamai dan nyaman dengan diri saya sendiri.

B. Tidak ada kegagalan, yang ada hanya feed back, relakan apa yang menjadi “kegagalan” Anda karena sebenarnya “kegagalan” atau hasil yang belum sesuai dengan yang Anda rencanakan adalah sebuah tahapan yang semakin mendekatkan Anda kepada OUTCOME yang tinggal Anda rengkuh. Dengan merelakan, Anda akan fokus kepada pencapaian OUTCOME dan menjadikan Anda lebih FLEKSIBLE untuk menggunakan strategi-strategi berbeda agar mendapatkan hasil yang berbeda, karena ada beberapa orang yang “giat” dan “aktif” melakukan aktivitas yang sama terus-menerus dengan harapan mendapatkan hasil yang berbeda. Bukan mencari-cari alasan apa penyebab “kegagalan” Anda. Contoh yang paling sering digunakan banyak orang untuk menjelaskan mental ini adalah, mental yang dimiliki oleh Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar. Sembilan ribu sembilan ratus Sembilan puluh sembilan kali dia “gagal” dalam usahanya menemukan lampu pijar tetapi Thomas Alfa Edison tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah kegagalan tetapi justru menganggapnya sebagai sebuah pelajaran ada sebanyak sembilan ribu sembilan ratus Sembilan puluh sembilan cara tidak tepat untuk sebuah lampu pijar. Sampai akhirnya pada percobaan yang ke sepuluh ribu Thomas Alfa Edison membuat sebuah penemuan yang menggemparkan dan diakui dunia.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar